Senin, 04 Oktober 2010

MIGRASI SETELAH LEBARAN

Oleh Nugroho SBM


Kota-kota besar di Indonesia - seperti Jakarta - akan menghadapi persoalan bertambahnya penduduk akibat migrasi dari desa ke kota. Migrasi tersebut sebagai akibat ajakan dari mereka yang selama ini sudah bekerja di kota kepada mereka yang berada di desa. Ajakan tersebut berhasil karena dua faktor yaitu faktor penarik dan faktor pendorong.
Faktor penarik berupa daya tarik ekonomi dari kota seperti: memberikan pendapatan lebih besar daripada di desa. Sedangkan faktor pendorong berasal dari desa antara lain makin sedikitnya lapangan pekerjaan di desa akibat konversi lahan dari sawah ke perumahan dan industri yang terjadi secara besar-besaran.
Bertambahnya penduduk kota setelah lebaran akibat ”migrasi ajakan” ini tentu akan makin menambah besar dan padatnya penduduk kota. Padahal selama ini pun di samping migrasi yang bersifat tetap, kota-kota besar sudah menghadapi masalah berupa migrasi sirkuler atau penglaju. Sebagai contoh Jakarta, penduduk malamnya (atau penduduk tetapnya) berjumlah 9,5 juta jiwa. Tetapi penduduk siang (ditambah dengan para penglaju) bisa mencapai 12 juta jiwa. Para penglaju ke Jakarta tersebut berasal dari wilayah sekitarnya yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Hubungan Timbal-Balik
Hubungan antara migrasi dengan perkembangan ekonomi kota bersifat timbal balik. Migrasi penduduk dari desa ke kota yang baik akan menumbuhkan ekonomi kota-kota. Tetapi bisa juga migrasi dari desa ke kota tersebut justru menjadi beban dan tak membawa kemajuan ekonomi kota- kota yang bersangkutan.
Bisa juga hubungan yang terbalik yang terjadi. Maksudnya, migrasi dari desa ke kota justru disebabkan oleh kemajuan ekonomi kota-kota. Artinya karena ekonomi kota maju dengan pesat maka banyak orang tertarik untuk bermigrasi dari desa ke kota.
Pada hubungan yang pertama yaitu apakah migrasi membawa kemajuan ekonomi bagi kota-kota, harus dikatakan bahwa hal tersebut tidak terjadi di Indonesia. Kenaikan jumlah penduduk di kota-kota di Indonesia baik sebagai akibat migrasi tetap – yang antara lain terjadi rutin setelah Lebaran- maupun sebagai akibat migrasi sirkuler atau penglaju ternyata tidak menambah kemajuan ekonomi kota-kota tersebut tetapi justru membawa beban yang makin berat.
Sebuah studi dari Bank Dunia (David Dowall, 2010) menunjukkan dalam kurun waktu 1970-2005 jumlah penduduk kota di Indonesia meningkat tiga kali lipat, sementara Produk domestik bruto (PDB) kota-kota tersebut hanya meningkat empat kali lipat dalam periode yang sama. Angka tersebut sangat kecil bila dibandingkan negara-negara lain pada periode yang sama. Di China, penduduk kota meningkat 3 kali lipat, sementara PDB kotanya bisa meningkat 14 kali lipat. Vietnam mengalami peningkatan pendudk kota 1,5 kali lipat dan PDB kotanya meningkat 4 kali lipat. Sedangkan Thailand penduduk kotanya meningkat 1,25 kali dan PDB kotanya meningkat 5 kali lipat.
Dapat diduga mengapa migrasi tetap dan sirkuler tidak memberikan sumbangan yang berarti bagi kemajuan ekonomi kota-kota di Indonesia– dalam hal ini diukur dengan PDB – adalah karena penduduk yang melakukan migrasi dari desa ke kota tersebut tak cukup berkualitas. Akibatnya mereka malah menambah beban bagi kota-kota yang didatangi berupa: kemacetan lalu lintas, kekumuhan, kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan berbagai prasarana seperti air minum, listrik, dan lain-lain yang lebih banyak, dan lain-lain beban yang tidak ringan.
Sedangkan hubungan kedua yaitu migrasi justru disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang terpusat di kota tampaknya lebih kuat. Studi yang sama dari Bank Dunia (David Dowall, 2010) menunjukkan bahwa Metropolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) pada tahun 2006 menyumbang 25,5 persen dari PDB Indonesia. Ini menunjukkan telah terjadinya pemusatan kegiatan ekonomi di kota-kota besar di Indonesia. Hal tersebut tentu akan menarik migrasi dari desa ke kota. Seperti kata pepatah ”Ada gula ada semut”. Dan migrasi tersebut ternyatamalah menyebabkan beban bukan rahmat bagi pertumbuhan ekonomi kota-kota di Indonesia.

Tumbuh Tak Terkendali
Pertanyaannya adalah mengapa kota-kota di Indonesia seakan-akan tumbuh cepat tak terkendali sementara desa begituy jauh tertinggal? Pertama, kebijakan pembangunan sampai saat ini masih tetap bias ke kota. Banyak contoh bisa dikemukakan. Misalnya bank-bank yang berlokasi di pedesaan ternyata hanya berfungsi ”mengambil” uang orang-orang desa lewat tabungan dan deposito tetapi menyalurkan uang tersebut untuk kegiatan ekonomi yang ada di kota. Contoh lain adalah program pemerintah tidak menaikkan tarif dasar listrik (TDL) untuk pelanggan 450 sampai 900 volt (padahal sebagian besar mungkin pelanggan lama yang mampu tetapi dulu voltnya dibatasi) tetapi tidak pernah memikirkan desa-desa khususnya di luar jawa yang belum teraliri listrik.
Kedua, kota-kota di Indonesia makin tumbuh ekonominya tetapi gagal menularkannya ke daerah serta desa-desa sekitarnya karena kota-kota besar di Indonesia lebih terhubung kegiatan ekonominya dengan kota-kota lain di seluruh dunia dibanding dengan wilayah dan desa-desa sekitarnya.. Hal ini bisa dicek dengan melihat kemana hubungan telepon kota-kota besar Indonesia. Pastilah banyak hubungan telepon yang terjadi justru dengan kota-kota pusat bisnis dunia.
Ketiga, kemajuan ekonomi dan perkembangan kota sebenarnya bisa dibatasi sehingga luberannya bisa ke wilayah dan desa-desa sekitarnya. Perangkatnya adalah Rencana Tata-Ruang Wilayah baik nasional, propinsi maupun Kabupaten/Kota. Rencana Tata Ruang tersebut mestinya membatasi wilayah kota yang boleh digunakan untuk kegiatan ekonomi dan mana yang tidak. Jika wilayah untuk kegiatan ekonomi yang diperbolehkan tersebut telah habis maka kegiatan ekonomi tentu akan meluber ke wilayah dan desa sekitar. Dengan demikian ketimpangan ekonomi antara kota dengan wilayah terbelakang serta desa sekitarnya.
Tetapi kenyataannya banyak rencana tata ruang hanya sebatas ”macan kertas” yang tidak punya kekuatan untuk memaksa meskipun UU Penataan Ruang yang baru sebenarnya memberikan sangsi yang tegas bagi siapa saja yang melanggarnya. Di dalam praktek, banyak bagian wilayah kota yang tidak boleh digunakan untuk lokasi kegiatan ekonomi tetapi akhirnya dilanggar juga. Ada 2 kemungkinan mengapa hal ini terjadi. Pertama, penerapan sangsi yang kurang tegas. Kedua, rencana tata ruang tersebut tidak melihat dan mengakomodasi UU, peraturan, maupun dinamika kegiatan ekonomi. Contoh paling nyata adalah kawasan Simpang Lima di Kota Semarang. Dulunya, dalam rencana tata ruang kota, kawasan tersebut merupakan kawasan untuk kegiatan olahraga, religius, dan pemerintahan. Tetapi akhirnya – seperti sekarang- kawasan tersebut telah tumbuh menjadi kawasan bisnis karena dulunya rencana tata ruang tidak diterapkan dan juga tidak mengakomodasi gerak dinamika ekonomi dan bisnis.
Keempat, kota-kota besar memiliki keunggulan komparatif dibanding wilayah yang lebih terbelakang dan desa sekitarnya berupa kelengkapan infrastruktur dan keuntungan karena pemusatan kegiatan ekonomi yang membuat biaya lebih murah. Kedua jenis keuntungan tersebut akan makin menarik investor masuk dan akan makin membuat ekonomi kota maju meninggalkan wilayah dan desa sekitarnya.

Lalu Bagaimana?
Lalu harus bagaimana untuk mengatasi terus mengalirnya penduduk dari desa ke kota pasca lebaran maupun yang bersifat penglaju? Menerapkan kebijakan kota tertutup seperti pernah diterapkan oleh Ali SAdikin – Gubernur DKI dahulu- jelas tidak efektif. Oleh karenanya satu-satunya jalan adalah menyebarkan kegiatan ekonomi supaya jangan terkonsentrasi di kota-kota besar saja.
Khusus untuk Jakarta memang pernah ada usul untuk memindahkan saja ibukota RI dari Jakarta ke kota lain. Tetapi mungkin hal itu akan terlalu mahal. Yang lebih murah adalah memindahkan fungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional. Banyak negara memisahkan pusat pemerintahan dengan pusat bisnis/ekonominya. AS memiliki pusat pemerintahan di WAshington DC tetapi pusat bisnisnya di New York. Australia memiliki pusat pemerintahan di Canberra tetapi pusat bisnisnya di Sidney.
Sedangkan kebijakan bagi kota-kota lain di Indonesia adalah membatasi perkembangan kota lewat penerapan rencana tata ruang yang tegas, menghapus kebijakan-kebijakan yang bias terhadap kota, membangun infrastruktur di pedesaan, dan mengkaitkan kegiatan ekonomi kota dengan desa misal: kegiatan agribisnis di kota yang mengolah hasil dari desa atau pengembangan paket wisata yang lokasinya menghubungan kota dan desa.

(Nugroho SBM, Staf Pengajar FE dan Peneliti pada Pusat Studi Dampak Kebijakan Undip Semarang serta alumnus S2 Planologi ITB)

Tidak ada komentar: